yak, here's chapter 5... the last chapter
Chapter 5 : End of War
Aku berdiri di tengah ruangan singgasana raja, dikelilingi penasihat kerajaan.
“Apa kau sudah gila?” kata salah satu penasihat kerajaan, menatapku seakan aku memiliki gangguan jiwa. Aku hanya melirik dan dia langsung diam.
“Tidak! Kau pikir gampang mengatur pasukan besar negara ini?” kata penasihat yang satunya. Wajahku merah padam.
“Kalau begitu biar Xenocrest yang mengatur semuanya,” tukas raja. “Karena kita sudah kehilangan Zachary, maka aku memberikan posisi jenderal kepada Xenocrest.” kata raja lagi. Penasihat raja yang ada di ruangan itu menatapku sangsi, namun sebelum mereka sempat membuka mulut aku berkata,
“Siap, raja!” Aku lalu menyuruh semua prajurit untuk berkumpul di aula istana. Aku mengatur strategi, seperti yang kemarin sudah dibicarakan dengan raja, dan mengatur formasi prajurit. Aku juga sudah mengambil beberapa perlengkapan perang baru, terutama Psycho Gun baru, menggantikan Psycho Gun lamaku yang hilang setelah perang kemarin. Dengan begini kami sudah siap menghadapi perang… Yang kutakutkan akan berlangsung tidak lama lagi.
Kembali ke republik Morg…
Dominique tampak gagah, memakai baju baru dan senjata baru. Lyvia juga mengambil harpa baru dari gudang.
“Sudah siap? Kita akan segera berangkat.” ujar Jenderal William. Dominique mengangguk sigap. Seluruh pasukan diberangkatkan dengan Airship, menuju Fareast. Mereka sampai di East Cape, namun anehnya tidak ada yang berjaga di jembatan menuju Momo Plains. Mereka pun segera pergi ke Momo Plains.
Di Momo Plains…
“Kami sudah tahu… Bahwa kalian akan menyerang.” kataku lantang. Aku dan seluruh prajurit Fareast sudah bersiaga. Aku mengedarkan pandangan ke pasukan Morg, mencari-cari Lyvia. Aku menghela nafas lega begitu melihat Lyvia yang tampak sehat-sehat saja. Namun aku menjadi gusar waktu melihat Dominique yang berdiri begitu berdekatan dengan Lyvia. Aku langsung menyuruh semua pasukan menyerang, disaat pasukan Morg terbingung-bingung. Aku hanya berdiri santai, menunggu mangsa terbesar. Dominique. Cara berperangku memang berbeda dengan ayahku, orang berjiwa patriotik yang mengalahkan satu pasukan sendirian. Sebenarnya aku tidak suka membunuh. Namun apa dayaku, hanya itulah yang aku bisa. Jadi aku selalu menghindari untuk membunuh yang tidak perlu dibunuh… Itu sebabnya aku lebih suka berdiri di belakang sementara orang lain yang membunuh. Tiba-tiba Jenderal William yang psikopat itu sudah berdiri di depanku. Aku mundur dan menembaknya beberapa kali namun meleset. Dia memiliki refleks yang bagus.
“Kau hebat juga, nak, namun itu masih belum cukup untuk mengalahkanku!” kata Jenderal William dengan sombongnya. Aku mencibir. Adu tembakan terjadi diantara kami, hingga pelurunya habis.
“Tamatlah riwayatmu…” kataku begitu tahu pelurunya habis. Dia terus menekan pelatuk tembaknya, namun tidak ada yang terjadi. Aku tersenyum keji-meniru caranya tersenyum saat dia membunuh Jenderal Zachary-dan mendekatinya.
“A-aah! Jangan! Masih belum waktunya aku untuk mati…” jeritnya memilukan. Entah kenapa, aku senang mendengar suara jeritannya. Bagai rangkaian nada yang indah, mengalun.
“Semua ini untuk Jenderal Zachary… Untuk temanku… Dan untuk Psycho Gun kesayanganku yang hilang…” Lalu aku menembaknya. Tepat di dahinya. Akhirnya… Dendam Jenderal Zachary terbalas. Aku berteriak. Sudah lama aku tidak berteriak. Hatiku rasanya lega. Lalu aku mengisi ulang Psycho Gun-ku dengan beberapa Gold Bullet. Aku kembali berdiri santai di belakang pasukan, yang setengahnya sudah tergeletak tak berdaya di rerumputan Momo Plains. Aku kembali mengedarkan pandangan mataku ke arah kekacauan di depanku. Aku lagi-lagi menghela nafas lega saat melihat Lyvia masih hidup. Tampaknya Dominique menjaganya dengan baik… Betapa baiknya Dominique, mau menjaga Lyvia… Yang akan diberikannya padaku. Aku terkekeh pelan. Aku menunggu… Menunggu… Dan terus menunggu… Sampai terasa bertahun-tahun… Berabad-abad aku menunggu namun semuanya belum selesai juga. Aku menunggu terus… Lalu aku dikepung oleh lima orang. Tampaknya mereka semua pemimpin pasukan, itu berarti mereka kuat. Aku tersenyum, dan menarik Psycho Gun-ku dari sarungnya.
“Agh!” teriakku kesakitan. Beberapa serangan dari mereka mengenaiku. Bahkan beberapa hampir mengenai bagian vital. Aku menembak mempiggy buta, tak peduli siapa yang aku tembak.
“Xen..?” kata seseorang. Suara itu… Rasa-rasanya aku pernah mendengarnya…
“Sy… Via?” kataku. Syvia? Bukankah dia sudah mati? Apakah aku sedang berhalusinasi?
“Iya… Aku Syvia…” Syvia tersenyum, mengingatkanku akan masa-masa pertemanan kami dulu.
“Tapi kenapa kau ada disini? Bukankah engkau sudah mati..?” tanyaku bingung. Bicara dengan Syvia, terasa seperti kembali ke masa lalu. Ke aku yang dulu.
“Itu tidak penting lagi… Sekarang lihatlah ke depan,” Katanya sambil memegang pundakku lembut. Aku menengok. Aku melihat sesuatu… Yang seperti sinar yang memancar tak henti-hentinya. Aku menatap Syvia bingung. “Itu adalah kekuatan… Yang bisa membuatmu menang… Dari pasukan Morg… Dari kekejaman dunia…”
“Tapi… Jika itu berarti aku harus membunuh Dominique…” Aku teringat bahwa dia dan Lyvia dulu diselamatkan oleh Dominique-meskipun aku juga membantu, paling tidak sedikit-Syvia tersenyum.
“Yang penting kamu melindungi Lyvia… Kamu ingat kan dulu janjimu?” katanya. Pikiranku kembali terbawa ke masa lalu, saat Syvia terbunuh.
“Sepertinya kita akan kalah.” kataku ragu. Aku menatap Dominique, Syvia, dan Lyvia yang kewalahan menghadapi pasukan gerilya Morg.
“Xen… Waktuku tidak akan lama lagi.” bisik Syvia pelan di telingaku.
“Apa!?” bisikku.
“Aku akan mati… Dan kalian larilah. Namun berjanjilah satu hal kepadaku, Xen.” bisiknya sambil menatapku penuh arti.
“Apa?” tanyaku, berusaha menghindari serangan musuh.
“Lindungilah Lyvia… Berjanjilah padaku.” Lalu saat itu juga Syvia maju ke depan, mengacungkan Wooden Staff-nya.
“Ya! Aku berjanji!” teriakku saat itu juga.
“LARI!” jerit Syvia. Aku, Lyvia, dan Dominique berlari meninggalkan Syvia…
“Ya. Aku ingat.” kataku kepada… Hantu Syvia ini.
“Kalau begitu majulah… Ambillah kekuatan itu. Dan ubah dunia ini…” Aku melangkah menghampiri sinar itu. Aku menggenggamnya lembut, seakan menggenggam sesuatu yang rapuh. Tiba-tiba sekujur tubuhku bersinar. Kekuatan mengalir di seluruh tubuhku. Aku menoleh ke arah Syvia. Dia tersenyum.
Aku telah kembali ke dunia nyata. Aku sedang terbaring di atas rumput, dikelilingi lima orang yang tadi menyerangku, dalam keadaan luka parah, namun aku tidak merasa sakit. Pasti karena cahaya tadi.
Aku berdiri dan menerjang, menuju Dominique.
“Xeno… Akhirnya tiba waktu untuk kita bertarung.” Kata Dominique, sekujur tubuhnya penuh dengan luka. Dalam beberapa serangan lagi aku yakin dia akan tumbang. Aku melirik Lyvia yang berdiri di belakangnya.
“Lebih baik kita pindah tempat… Aku tidak ingin melukai Lyvia.” ujarku. Dominique mengangguk. Kami melesat menuju tempat yang kosong. Aku mengacungkan Psycho Gun-ku. Dia mengambil posisi. Kami saling menerjang, menyerang mempiggy buta. Sekali… Dua kali aku terkena goresan Pang Claw-nya. Tapi aku juga yakin sekali-dua kali peluru yang ditembakkan Psycho Gun-ku berhasil menembus tubuhnya.
“Ini yang terakhir… Antara hidup dan mati.” Kata Dominique lirih sambil memegangi perutnya yang terkena tembakan. Dominique menerjang dengan Pang Clawnya, aku membidikkan Psycho Gun-ku.
DOR!!!
Dominique tumbang. Aku pun hampir saja tumbang jika tadi aku tidak menekan pelatuk sebelum serangan Dominique berhasil mengenaiku. Aku menghela nafas lega. Sekarang tidak ada yang menghalangiku mendapatkan Lyvia! Aku berjalan pincang menghampiri Lyvia.
“Kau… Mengalahkan Dominique?” gumamnya dengan ekspresi memelas. Aku mengangguk pelan, lalu Lyvia menangis meraung-raung. Dia mengambil pedang prajurit di dekatnya, lalu mengayun-ayunkannya ke arahku. Tepat saat pedangnya hampir mengenai wajahku…
DOR!!!
Aku refleks menarik pelatuk. Tapi sudah terlambat. Gold Bullet-ku menembus dada Lyvia… Dan pedangnya menusuk wajahku. Kami tumbang bersama-sama…
“Do… Minique… Xenocrest… Kakak… Maafkan aku…” Itulah kata-kata terakhir Lyvia. Disaat-saat terakhir menuju kematianku, aku mengumpulkan tenaga untuk berkata,
“Lyvia… Aku mencintaimu.” Namun Lyvia tak bergeming… Wajahnya tetap tak berekspresi. Lalu aku menangis… Dan sudah tiba waktuku untuk meninggalkan dunia ini…
Fin