Chapter 01 – The Meeting
[Flashback]
10 tahun yang lalu“Huhuhu.... Mama... Huhuhu...” tangis gadis kecil berambut merah di sudut kamar yang gelap tersebut.
Hari ini Organisasi kembali menculik seorang anak lagi. Kali ini yang diculik adalah seorang anak perempuan berusia sekitar 8 tahun. Seperti biasa, anak-anak yang diculik, dikurung di dalam beberapa kamar sempit dan gelap. Mereka nantinya akan diajari cara bertarung dan membunuh oleh Organisasi.
Tiba-tiba tiga bayangan hitam datang menghampiri gadis kecil itu.
“Hiiiyyyyy!!!! Ja, jangan mendekat!” teriak gadis kecil itu histeris dengan sinar mata ketakutan.
“Ssssttt! Diamlah. Kau akan membuat mereka marah,” ujar suara yang berasal dari salah satu bayangan hitam tersebut.
Ketiga bayangan itu perlahan-lahan mendekati gadis kecil itu. Gadis itu menggigil ketakutan. Saking takutnya, suaranya sampai tak bisa keluar.
Ternyata bayangan itu adalah bayangan 3 bocah laki-laki yang bernasib sama dengannya. Mereka berempat diisolasi dalam satu kamar yang sama.
“Siapa namamu?” tanya salah satu bocah laki-laki tersebut.
“Da, Daisy...” jawab gadis kecil itu seraya terisak.
“Aku Xenocrest. Yang di sebelahku ini Kurt. Dan ini Hlodyn,” lanjut bocah tersebut seraya memperkenalkan dirinya dan kedua bocah di sampingnya. “Jangan menangis. Kami akan melindungimu.”
Ucapan yang keluar begitu saja dari mulut bocah bernama Xenocrest itu langsung diiyakan dengan anggukkan oleh kedua bocah di sampingnya. Ketiga bocah laki-laki itu hanyalah anak kecil -mungkin seumuran dengan gadis kecil itu- tetapi satu kalimat bocah tersebut begitu menentramkan jiwa gadis kecil bernama Daisy itu.
Daisy yang semula begitu ketakutan mulai dapat mengendalikan dirinya. Dia mulai berhenti menangis dan sinar matanya kembali memancarkan harapan.
***
Hari demi hari pun berlalu. Sudah setengah tahun sejak pertama kali mereka bertemu di kamar yang gelap itu. Hidup yang mereka jalani setiap harinya bagai neraka. Mereka dipaksa berlatih dengan sangat keras. Bahkan di usia yang masih sangat kecil mereka sudah diajarkan bagaimana cara menghabisi lawan. Tidak jarang mereka ditugaskan untuk membunuh “target” Organisasi. Keempat sahabat tersebut selalu bahu membahu melewati semuanya itu.
Xenocrest adalah anak yang ceria. Dia yang paling bersemangat di antara mereka berempat. Kemampuan bertarungnya juga di atas ketiga sahabat kecilnya itu. Sedangkan Kurt, meskipun agak pendiam, dia satu-satunya sahabat sekaligus rival yang dapat menandingi XenoCrest.
Sementara Hlodyn sangat humoris. Dia sering membuat sahabat-sahabat kecilnya tertawa. Kapanpun dan dimanapun, dia selalu tersenyum. Kemudian satu-satunya anak perempuan di dalam kelompok tersebut. Daisy adalah sosok yang pemalu dan sering menangis. Namun, dia sangat menyayangi ketiga sahabatnya tersebut.
Hubungan keempat sahabat tersebut sangat harmonis. Mereka sangat solid dalam menjalankan semua misi yang diberikan Organisasi. Semuanya berjalan dengan baik, amat sangat baik.
Sampai pada suatu malam di musim dingin, tragedi itu terjadi...
Mereka diberikan misi untuk membunuh seorang panglima perang di suatu negara. Namun mereka gagal dan melarikan diri. Mereka berempat sedang dikejar pasukan dari negara tersebut. Di tengah pelarian mereka, di suatu hutan yang gelap, Hlodyn tersungkur sekarat akibat sebuah anak panah yang menembus dadanya.
“Ugh...” rintih Hlodyn sekarat
“Be, bertahanlah Hlodyn. Kami akan membawamu keluar dari sini.” ujar Xenocrest seraya memeluk Hlodyn yang tersungkur lemah di pangkuannya.
“Hlo, Hlodyn....” ujar Daisy lirih seraya menahan air mata melihat kondisi salah satu sahabatnya itu.
“Pergi...” ujar Hlodyn lemah.
“Ja, jangan bicara Hlodyn. Ka, kami akan menolongmu,” ujar Kurt dengan terbata-bata.
“Pe, pergilah... Ti, Tinggalkan aku,” ujar Hlodyn lagi.
“Tidak. Kami tak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi,” ujar Xenocrest yang mulai mengucurkan air mata.
“Pergi!!!” teriak Hlodyn kali ini dengan keras seraya memuntahkan darah dari mulutnya.
Teriakan Hlodyn kali ini sontak membuat ketiga sahabatnya menangis. Hlodyn sekarat. Namun di sisa akhir hidupnya, bocah itu masih memikirkan keselamatan sahabat-sahabatnya. Hati mereka perih, bagai disayat-sayat. Akhirnya dengan berat hati mereka terpaksa meninggalkan Hlodyn sendirian. Mereka pun berlari seraya mengucurkan air mata.
“Ak, aku.. bahagia.. Aku bahagia.. bisa mengenal.. kalian..” ujar Hlodyn seraya tersenyum.
Disaat bersamaan puluhan pasukan yang menemukan Hlodyn yang tergeletak lemah tak berdaya, langsung menghujani tubuhnya dengan pedang dan tombak. Hlodyn tewas seketika dengan tubuh tercabik-cabik. Namun dibalik wajahnya yang mulai memutih dan berlumuran darah, tersimpul samar-samar senyum kebahagiaan terutas di bibirnya.
Chapter 01 - End