â€Seal Online Fan Fictionâ€
Made By: Ihsan Prayogo
“The Question’s Answer: EDITED.â€
Okay all, this is the ‘answer’ Nizami-senpai’s question. Uh huh. I’ll try to make a scene based of the desciption above. Uhm, once again, the comments please

, because I’m newbie here.
The Question’s Answer
Scene 01-End: Words Behind the SwordColosseum, January 4th, 2007. 13:58 Adel Meridian Time. Spring. Cloudy.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Angin bertiup pelan, membawa hawa dingin yang tidak wajar. Petala langit diselimuti oleh awan-awan berwarna tak ramah alam.
“Cumulonimbus...†ujar seorang Knight yang tengah bersandar pada sebuah pilar cokelat di ruangan yang terkenal sebagai tempat penentuan hidup-mati serta pertaruhan gengsi dan reputasi. Baju perang merah mengkilat yang dipakainya menutupi ujung kepala sampai ke ujung kaki, kecuali sedikit bagian wajah dan telapak tangan. Pedang yang disarungkannya di pinggang kiri berwarna sepadan dengan baju perang yang dipakainya. Tangan Knight itu memegang selembar surat yang sudah ia baca entah berapa kali sampai ia hafal betul isinya, namun toh setiap menit berganti menit ia selalu membaca kembali surat itu.
â€Colosseum. Pukul dua siang. Dari yang selalu mengagumi dan membencimu. Meria."
Julian, Knight dengan Ultimate Set itu, akhirnya memilih memasukkan surat itu ke dalam salah satu celah baju perangnya—mengingat baju perang yang ia gunakan tak memiliki saku—sebelum air matanya menetes. Ia kemudian menatap berkeliling Colosseum. Tidak apa siapapun, atau lebih tepatnya, belum ada siapapun kecuali dia, jika tidak menghitung beberapa burung yang terbang berseliweran di atas Colosseum.
Merasakan kehadiran seseorang, Julian langsung melepaskan punggungnya dari pilar, berdiri tegak, dan mencabut pedangnya. Matanya dengan tajam mengawasi semua sudut yang bisa dilihat, dan pantulan dari besi yang menutupi tangannya membuatnya bisa melihat belakang tanpa harus menoleh.
Sekelebat bayangan muncul di pantulan itu, dan dengan cepat Julian berbalik.
Seorang wanita cantik tengah berdiri jauh di hadapan Julian. Matanya yang bulat besar menatap tajam Knight serba merah yang ada di hadapannya. Angin bertiup sepoi-sepoi, menggerakkan perlahan rambutnya yang panjang bergelombang, merah pekat seperti darah, namun indah. Sebuah pedang besar menggantung di punggungnya, dan tangan kirinya sudah memegang pangkal pedang tersebut, siap mencabutnya kapan saja.
“Meria,†ucap Julian, pelan. Namun yang disebut namanya hanya diam seraya menatap kejam.
“Sebelum kau mati,†desis Meria dengan nada kebencian, “ada yang ingin kausampaikan?â€
“Jika aku mati, seperti katamu,†ucap Julian, pedangnya memerah perlahan-lahan, dan ia mencengkram keras-keras perisai merah yang ada di tangan kirinya, “maka bawa jasadku dan kuburkan di samping orangtuaku yang kaubunuh.â€
Julian seolah melihat orangtuanya lagi, merasakan keberadaan berada di samping kanan-kirinya. Mengingat orangtuanya membuatnya mencengkram pedangnya semakin keras, dan tatapan mata yang semula teduh menjadi garang. Agaknya Meria menyadari perubahan itu.
“Mereka membunuh orangtuaku, Julian!â€
“Aku tahu, Meria!†geram Julian, kemarahannya sudah tak tertahankan. “Orangtuaku membunuh orangtuamu, tapi tahukah kau bahwa orangtuamu bermaksud membunuh Raja? Raja kita, Meria! Sudah sepatutnya orangtuaku membela Raja mati-matian, meskipun itu berarti harus membunuh—!â€
“—aku tidak peduli!â€
“Pergi kemana Meria yang kukenal, yang membaktikan diri demi kerajaan, demi Elim Yang Agung, demi Elios!†desis Julian. Ia menancapkan pedangnya ke tanah, melampiaskan kemarahan. Sesaat tanah Colosseum bergetar, pertanda betapa marahnya Julian sekarang. “Kau anggota Lion Knight, Meria! Sepatutnya kautahu resiko yang harus dihadapi oleh seorang anggota Lion Knight! Atau kau hanya bergabung dengan kita dengan rencana yang sama seperti orangtuamu yang sudah membusuk di liang lahatnya? Membunuh Raja?â€
“Aku tidak pernah berpikir serendah itu!â€
“Jika begitu, apa yang baru saja kauucapkan! Kau seolah tak peduli dengan nasib Raja, nasib Elim, nasib Shiltz! Kau dibutakan oleh kematian orangtuamu yang jelas pengkhianat-negara—“
“Jangan sebut orangtuaku seolah-olah mereka sampah—“
“—mereka memang sampah, sampah masyarakat yang tak peduli nasib Shiltz, sementara mereka berniat membunuh Raja hanya untuk merebut harta dan kekuasaannya!â€
“Berhenti berbicara seperti itu—!“
Meria mencabut pedangnya, matanya penuh dengan kebencian menatap Julian, kemudian ia berlari menuju Knight berambut coklat itu. Julian, yang kesiagaannya kurang karena kemarahannya, tak dapat melakukan apapun kecuali bertahan dari serangan dan cabikan pedang mempiggy-buta yang dilakukan Meria terhadapnya.
Serangan bertubi-tubi itu membuatnya kehilangan keseimbangan, dan kemudian Julian jatuh ke atas tanah. Meria langsung melompat tinggi ke atas tubuh Julian, melancarkan serangan yang ke-21 dari rentetan cabikan pedang yang dilakukannya.
“Rasakan ini,†desis Meria. “Sepuluh Elim Turun Ke Shiltz!â€
“Divine Protection!†ucap Julian.
Pedang Meria—yang warnanya sudah berubah menjadi ungu—menghantam jurus pertahanan Julian yang mengubah perisai Ultimate kecilnya menjadi perisai putih, besar, bercahaya, dan menyelubungi seluruh tubuh Julian. Pedang dan perisai yang beradu itu menimbulkan bunyi yang menggelegar, menghancurkan tanah tempat Julian berbaring hingga tubuh Julian melesak ke dalam oleh tekanan pedang Meria.
“Jurus itu!†raung Julian seraya terus menahan serangan yang diluncurkan dari pedang Meria. “Beraninya kau menyebut nama Elim untuk membalas dendam! Kau keji!â€
Meria bersikap seolah tidak mendengar apapun dari mulut Julian. Ia hanya menyerang dengan pedangnya yang sekarang berubah warna menjadi merah, dan setiap sabetannya menimbulkan ledakan kecil yang membuat Julian, yang hanya bisa bertahan, terus melesak ke dalam tanah, membuat punggungnya sakit dan kepalanya pening.
Suara gemuruh yang timbul akibat hantaman pedang Meria itu semakin keras, namun samar-samar dari balik suara itu, Julian dapat mendengar raungan Meria.
“Mereka—satu-satunya—yang—kumiliki! Dan—orangtuamu—orangtuamu—mengambilnya—dariku!â€
Sesaat Meria teringat akan masa kecilnya yang pedih; semua orang menghina wajahnya yang buruk, hingga ia tak punya teman seorangpun. Ibunya kemudian menyerahkan dirinya ke Gereja Elios, dan seorang Cleric di sana membuat wajahnya menjadi begitu cantik, bahkan lebih cantik daripada mereka yang pernah menghinanya. Namun dengan wajah cantiknya ia tetap dijauhi, dijauhi karena berbagai macam alasan—entah itu ia disangka menggunakan sihir hitam demi mengubah wajahnya, atau sebetulnya ia memiliki ilmu yang misterius, dan sebagainya. Yang ada di dekatnya hanya orangtuanya, hanya orangtuanya—
â€Lihat itu, si penyihir hitam!â€
“Idih, sok cantik ya dia! Lihat gayanya!â€
“Jangan dekat-dekat! Awas puppy galak!â€
Seorang wanita cantik dengan rambut panjang merah bergelombang, yang sedari tadi hanya diam, kemudian berdiri—ia tak tahan lagi. Ia berteriak ke arah orang-orang yang mengejeknya itu.
“Mengapa kalian terus-menerus menghinaku seperti ini! Aku bukan penyihir—“
Kata-katanya tenggelam oleh makian teman-temannya—jika mereka masih bisa disebut teman.
Kemudian salah seorang yang menghinanya, seorang Magician, dengan iseng mengeluarkan sebuah bola api dari tongkat sihirnya, menembakkannya ke arah wanita cantik yang sedang melakukan pembelaan diri tak berguna itu. Wanita itu menoleh, melihat bola api itu, dan tahu bahwa ia tak bisa menghindar. Bola api itu mendekat, mendekat, mendekat—
“Kau selalu menganggap dirimu selalu sendirian!†raung Julian. Ia menghentikan Divine Protection-nya sebelum perisainya hancur. Ia lalu melompat minggir—sabetan pedang Meria hanya sesenti lagi dari bahu kanannya. Julian lalu berdiri, namun belum sempat melakukan apapun, Meria sudah menyerangnya lagi. Julian menyambut serangan Meria dengan pedangnya, yang sudah menyala merah membara, alih-alih perisainya.
Ketika pedangnya bertemu dengan pedang Meria, terjadilah ledakan besar, diiringi raungan yang nyaris bersamaan antara Julian dan Meria.
“Blazing Hurricane!â€
“Impact Explosion!â€
Suara gemuruh menggaung memenuhi Colosseum. Julian dan Meria terpental dengan arah yang berlawanan, menjauhi satu sama lain, disebabkan tenaga yang muncul dari adu-pedang tersebut. Julian terlindungi baju perangnya, sementara Meria mendapatkan luka yang cukup parah, dan pedangnya berasap.
—“Divine Guard!â€
Cahaya muncul, mengelilingi wanita berambut merah yang tengah terduduk di tanah, mengira ia sudah berada di ujung ajal. Sekelebat bayangan berada di hadapannya, melindunginya dari bola api yang akan menyerangnya dengan perisainya. Cahaya itu lalu menghilang, membuat wanita berambut gelombang itu dapat melihat siapa penyelamatnya.
“Kau tak apa-apa?†ucap penyelamatnya, sang Knight. Ia mengulurkan tangannya, yang langsung ditepis oleh wanita berambut gelombang itu dengan kasar. Lalu wanita itu lari, dengan perasaan yang aneh—entah bahagia, entah kesal karena merasa tidak bisa melindungi diri dan merepotkan orang.
“Sudahlah, Julian. Tak usah kau sia-siakan tubuhmu untuk melindungi penyihir hitam itu—“ ucap Magician yang tadi menembakkan bola api, namun kata-katanya ditelan tatapan tajam sang Knight.
“Kau brengsek.â€
Lalu Knight itu mengambil pedang besar yang tergeletak di atas tanah, kemudian berlari mengejar wanita pemilik pedang tersebut.
Sejenak hening. Meria berusaha berdiri. Namun ia tak dapat melihat apapun—segalanya dikelilingi asap, menunjukkan betapa dahsyatnya jika dendam sudah berbicara. Ruangan tempat mereka bertarung nyaris hancur sebagian besar; tempat itu sekarang lebih mirip Tambang Clements alih-alih Colosseum. Sesudah bersusah payah berdiri, Meria berjalan beberapa langkah, namun kemudian ia terjatuh. Rasa sakit dan panas ia rasakan pada seluruh tubuhnya, darah serasa mengalir ke kepala, sehingga ia seolah digantung terbalik di atas api.
Ia mendengar bunyi langkah sepatu besi. Ia berusaha bangkit, namun rasa sakitnya sudah menaklukannya.
Sekarang kaki Julian tepat berada di depan hidung Meria.
â€Mengapa kau mengejarku?â€
Knight itu terengah-engah, begitu pun wanita berambut merah itu.
“Ini—pedangmu.â€
Wanita berambut merah itu mengambil pedangnya. Lalu dengan nada yang lebih lunak, ia mengucapkan sebuah kata yang sangat jarang ia ucapkan kecuali pada orangtuanya.
“Terima kasih.â€
Ketika wanita berambut merah itu berbalik untuk pulang, tangannya digaet begitu saja oleh sang Knight. Namun ia tak berusaha melawan.
“Namaku Julian, boleh aku mengantarmu pulang?â€
“Julian....†desah Meria parau, mulutnya mengalirkan darah, darah yang merah, semerah rambutnya. “Kau... Menang....â€
Meria berusaha mengangkat tangannya, namun ketika baru saja terangkat sesenti dari tanah, tangan itu kembali jatuh. Pandangan Meria mengabur, berhamburan menjadi titik-titik kecil. Ia serasa terbang, tubuhnya seolah ringan, seolah tak ada beban, seolah hukum gravitasi tak lagi berlaku. Pandangannya lalu mengecil menjadi satu titik terang, yang kemudian menjadi gelap, semakin gelap, dan menghilang.
â€.... namaku Meria .....â€
Julian terduduk di samping jasad Meria yang baru saja meninggal. Kepalanya tengadah ke langit, dan setitik air menyentuh hidungnya. Sang Cumulonimbus tak lagi mampu menahan beban yang dibawanya. Titik demi titik air terus turun dari langit, semakin banyak dan semakin banyak.
“Meria....†desahnya. Mendadak saja helm yang menutupi kepalanya terbelah menjadi dua, lalu diikuti oleh baju perangnya. Ketika ia mengangkat lagi pedangnya, pedang itu hancur. Dan perisainya sudah terbelah menjadi serpihan-serpihan kecil. Tubuhnya yang sedari tadi ditutupi oleh baju perang kini kehilangan pertahanannya. Titik-titik air hujan yang membasahi tubuhnya seolah jarum; setiap tetes air hujan yang menyentuh tubuhnya menyisakan setitik luka, yang langsung mengeluarkan darah.
Ia lalu berlutut, mengambil jasad Meria, mengangkat kepalanya. Kemudian Julian mencium Meria, dan seluruh tenaganya seolah dicabut. Ia terjatuh, jatuh di samping jasad Meria.
“Padahal... Kau punya aku yang selalu mencintaimu....â€
Dan kata-kata itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Julian, kata-kata yang tak pernah sempat diucapkannya pada Meria ketika ia hidup.
Hujan turun semakin deras, membasahi tanah tempat penentuan hidup mati, tempat pertaruhan gengsi dan reputasi, dan tempat dimana kata-kata diungkapkan lewat pedang yang saling beradu, mendendangkan simfoni bergemuruh yang hanya bisa dimengerti oleh satu sama lain. Dan bagi Julian maupun Meria, meski rasio mereka menggerakkan pedang untuk saling membunuh, keduanya mengerti bahwa setiap pedang mereka beradu, hati mereka mengucap satu kata yang sama: cinta.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Words Behind The Sword: End -cut- Kurang lebih satu scene itu... 10ribu huruf... minimal 700 kata, maksimal 2000 kata kurang lebih, ato ya terserah asal jgn panjang2 krn ini cuman satu scene. -cut-
Specification (ONLY the Story, w/o Titles):
Words --> 1.678
Characters --> 10.681 exceeding expectations 
Characters (with Spaces) --> 12.271
Paragraphs --> 67
Lines --> 225Source: Microsoft Office Word 2007’s Word Count
***secara gak mungkin lah ngitung sendiri, sori kalo kepanjangan***